Kembali lagi perjumpaan kita, lembaran putih yang akan penuh dengan lampiasan sesakku yang baru. Sebuah pelik kenyataan dunia ini yang sangat menyakitkan, menyesakkan.
Dunia ini berisik, oleh orang-orang senang berdiam yang pandai menunjuk dan melantangkan suaranya. Tak lengkap kalau tak rumit, tak puas kalau tak pecahkan kepala orang. Banyak hal tak sejalan, dipaksa dilalui hingga berujung memaksa kehendak. Tak ragu berkata salah, jelek, tidaak dengan mudah tanpa mendengar dan melihat seluruh sisinya.
Huft, pening kepala ini...
Padahal jika kau ingin menutup pintu kamarmu, kau tinggal beranjak dan menutupnya. Tapi seakan dunia tidak adil, semua manusia tidak peka, waktuku tidur tapi tidak ada yang mau menutu pintu kamarku. Seluruh isi rumah ini sudah tak peduli. Sekeras apapun berteriak tak ada yang mendengar.
Serumit mencari jarum dalam tumpukan jerami. Dunia begitu dipenuhi orang-orang pandai memerintah, dengan segala macam teori yang bahkan belum pernah mereka coba.
Berisiik, dari orang-orang yang bicarakan buruknya aku. Tapi sayang telinga masih mampu mendengarkannya.
Berisik dari dari segala keluh yang tak pandang nikmat. Gelas jatuh kau bilang sialan, padahal dengan mudah tanganmu ayunkan dan bersihkan tumpahan airnya.
Mengapa seutas tali yang lurus sudah rapi, sedang kau sibuk buat simpul yang tak karuan. Lalu menggerutu tak bisa lepaskan simpulmu sendiri.
Bising dari sebuah perasaan yang menuntut dibenarkan, menjelaskan a b c d bahkan seluruh angka disebut demi pengakuan tak masuk akal. Padahal perbedaan pendapat tak selalu ada salah dan benar. Coba tengokkan kepalamu dan lihatlah dari sisi lain.
Berisik dari orang malas yang gelisah melihat orang senang, berperang pikiran bahkan sampai pada rangkaian kata yang sangat menyakitkan. Seakan semua harus sama dengannya.
Berisik dari orangnya menuntut kerjasama, bahkan semua pekerjaan sudah dibagi rata. Semua sibuk mengerjakan tugasnya. Sedang ia yang asik melenceng dari alur, marah melihat semua sudah santai menikmati waktu luangnya. Marah seakan ia kerja sendiri, bahkan dengan tugasnya sendiri. Membentak dan memaki semua orang. Tak peduli, tak bisa diajak kerjasama, dan kata-kata menyakitkan lainnya. Padahal sesederhana selesaikan tugas utamamu, dan ikutlah bersantai dengan mereka.
Setiap pembelianmu kau kira kau raja, bahkan semua warna sudah dikeluarkan. Menunjuk sana-sini, mencoba ini itu. Masih sulit tuk bilang terimakasih?
Sungguh seakan dunia ini dipenuhi orang yang maunya diutamakan, tapi lupa cara menghargai orang lain. Lupa bahkan mungkin mereka kira hanya dia saja yang punya hati!
Berkali kuberpikir, sesederhana itu untuk dapatkan ketenangan. Sesederhana berhenti menjelaskan jika sudah tak diterima. Tak perlu dibahas jika sudah pasti datangkan debat. Apa-apa lakukan sendiri, energimu masih tersisa jika kau selesaikannya sendiri. Memerintah, membentak, dan timbul penyakit hati jauh menguras emosi. Kalau ada yang salah ya dibenerin, gerutumu tak akan menyelesaikan masalah! Ingin pergi, pergi saja tak perlu tunggu manusia jam karet yang berujung membatalkan agendamu. Membenci orang, benci saja dalam hatimu jangan rekrut orang-orang baik tuk ikut membenci orang lain. Bisa nggak tiap kali nyuruh utamakan kata Tolongg, dan diakhiri Terimakasih.